Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengapa Inisiatif Cost Cutting Jarang Berhasil ?

Daftar Isi [Tampil]

 

Mengapa Inisiatif Cost Cutting Jarang Berhasil

Cost cutting, cost trimming, cost reduction exercise, memangkas biaya, termasuk slogan yang sangat populer di dunia bisnis. Tidak hanya di bagian akuntansi dan keuangan, hampir setiap manager (bagian manapun) mencantumkan inisiatif cost-cutting sebagai salah satu program kerja mereka. Uniknya (atau ironisnya), entah mengapa, paling jarang berhasil, diantara banyaknya inistiatif yang dijalankan di dalam perusahaan. Mengapa inisiatif cost-cutting jarang berhasil?

Apakah karena istilah “cost-cutting” ini memang hanya sebatas retorika atau karena konsepnya muluk-muluk?

Entahlah. Yang jelas, pengalaman saya beberapa tahun di accounting menunjukan; cost-cutting memang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Tetapi bukan berarti mustahil.

Adakah cara (atau pendekatan) yang ampuh untuk menjalankan program cost cutting, tanpa gagal?

Jawaban saya sudah pasti: “ADA”.

Ah, saya sudah bosan membaca tips cost-cutting; dari itu-ke-itu terus. Kenyataannya, sampai saat ini saya masih mengalami kesulitan untuk menekan biaya, meskipun tips-nya sudah saya ikuti.” Mungkin ada yang berpikir demikian.

Ya. Saya tahu. Di ranah online, tips sejenis sudah ada sejak pertamakali saya membaca media online—dan saya yakin tips yang sama sudah dipublikasikan di media-media traditisional (majalah/tabloid/koran) sejak berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Sayangnya, rata-rata isinya hanya common-sense—enak dibaca tetapi tidak pernah menyentuh masalah yang sesungguhnya. Ibarat makan kerupuk; ringan dikunyah, tapi tak mengatasi perut lapar.

Pertanyaan yang paling pokok, dalam hal ini, adalahApa masalah cost-cutting yang sesungguhnya—sehingga inisiatif cost-cutting lebih sering gagal ketimbang berhasilnya?

Sebelum menjawab pertanyaan pokok di atas, rasanya akan lebih baik jika kita mulai dari pertanyaan yang paling mendasar terlebih dahulu; mengapa perlu program cost-cutting?

 

Mengapa Perusahaan Perlu Menjalankan Inisiatif Cost Cutting?

Saya percaya; sebagian besar perusahaan, dewasa ini, sudah sangat ‘ngeh’ mengenai betapa pentingnya mengendalikan biaya (cost-control). Apakah ‘ngeh’ saja sudah cukup? Sejauh mana tingkat keberhasilan cost-control di perusahaan-perusahaan?

Saya belum pernah melakukan penelitian khusus sehubungan dengan hal ini. Yang jelas; cost-control ada, pegawai cost control ada—sehingga bisa dikatakan systemnya sudah ada—akan tetapi faktanya, sampai saat ini, yang namanya program cost-cutting hampir selalu menghiasi job description setiap manager. Mengapa demikian?

Banyak kemungkinan yang bisa menjadi penyebab mengapa perusahaan masih saja perlu melakukan program cost-cutting. Yang paling utama, menurut saya, karena cost-control tidak berjalan secara efektif—entah karena staf cost-control tidak terampil atau karena desain system cost-controlnya itu sendiri yang memang lemah atau malah tidak ada sama sekali.

Yang namanya inefficiency, menggelinding seperti bola salju; kian lama kian membesar. Pemborosan sekecil apapun—jika dibiarkan terus terjadi—bisa menjadi parasit yang menggerogoti kesehatan keuangan perusahaan, perlahan tapi pasti. Dalam kondisi yang buruk, inefficiency bisa mengancam kelangsungan-hidup perusahaan. Perusahaan sekuat apapun bisa bangkrut kalau terus-menerus digerogoti oleh pemborosan di sana-sini.

Dan sudah menjadi pemandangan umum, khususnya di usaha kecil dan menengah, dimana manajemen perusahaan baru sadar setelah mereka mulai mengalami kesulitan lukuiditas (telat bayar vendor, telat bayar gaji, telat bayar listrik, dlsb). Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya cara untuk kembali ke kondisi keuangan yang normal adalah denga menjalankan program cost-cutting (sudah bukan waktunya lagi untuk mengandalkan cost-control). Mau-tidak-mau perusahaan harus segera mengikis parasit inefficiency itu.

Sayangnya, seperti sudah saya sampaikan di awal tulisan, inisiatif cost-cutting-pun lebih sering gagal ketimbang suksesnya. Perusahaan yang berada dalam situasi yang paling sulit sering dipaksa (oleh keadaan) untuk menjalankan program cost-cutting secara aggressive—yang sudah pasti menimbulkan excess negative, di sisi lainnya. Misalnya: perusahaan terpaksa mengurangi aktivitas operasional mereka (menutup sebagian toko, mengistirahatkan sebagian mesin, melakukan PHK.) Ini mimpi buruk bagi perusahaan manapun.

Oleh sebab itu, jika cost-control tidak berjalan dengan efektif maka perusahaan harus berusaha mensukseskan program cost-cutting yang mereka jalankan.

Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu jika ingin sukses menjalankan inisiatif cost-cutting.  Apa saja yang perlu diketahui?

 

Inefficiency Itu Bukan Masalah Angka Semata

Betul. Urusan mengukur efisiensi jatuhnya memang di bagian Accounting. Cost control juga di Accounting. Program cost-cutting, meskipun di jalankan oleh semua bagian, yang menjadi project leader biasanya orang accounting—terutama cost controller atau cost accountant. Dan, bicara accounting sudah pasti bicara angka. Inilah rupanya yang menjadi rasionalisasi sehingga pemborosan atau inefficiency sering dianggap tak lebih dari persoalan angka. Dan ini pula yang menyebabkan cost-cutting sering menjadi slogan semata—lebih sering gagal ketimbang suksesnya.

Benar juga bahwa, usaha untuk menekan cost memang dimulai dari aktivitas mengidentifikasi pemborosan melalui angka-angka, sehingga bisa diketahui; berapa dan dimana pemborosan terjadi. Misalnya:

  • Membandingkan cost dan expense dengan revenue (vertical analysis)
  • Membandingkan Harga Pokok Penjualan dengan Profit Margin (vertical analysis)
  • Membandingkan Net Earning dengan Total Revenue (vertical analysis)
  • Membandingkan cost dan expense tahun ini dengan tahun lalu (trend/horizontal analysis)
  • Membandingkan rasio-rasio dengan industry average (benchmarking)
  • Dan lain sebagainya.

Hanya saja, perlu disadari bahwa: aktivitas mengidentifikasi berapa dan dimana pemborosan terjadi, hanya tindakan awal. Setelahnya, aktivitas program cost-cutting lebih banyak berada di wilayah-wilayah non-numerical. Wilayah mana saja itu?

Wilayah-1. Mindset (Pola-Pikir) – Ini yang paling penting. Pemborosan atau inefficiency adalah bentuk SIKAP dan PERILAKU, yang jika keterusan bisa berubah menjadi kebiasaan, lama-lama jadi budaya. Dan root (akar) dari perilaku adalah mindset (pola-pikir). Darimana perilaku boros berasal?

Mungkin anda tidak. Tetapi pada umumnya, dalam menjalankan pekerjaan di kantor kebanyakan orang (terutama di level bawah) cenderung untuk melakukan apa yang mudah dan nyaman bagi diri mereka sendiri, dalam jangka pendek—tanpa memperhitungkan konsekwensi yang lebih luas dalam jangka panjang. Misalnya:

  • Daripada mengais-ngais kertas bekas untuk ngeprint, jauh lebih mudah membuka satu reem kertas baru yang masih kosong.
  • Daripada mencari pulpen yang nyelip diantara tumpukan kertas di meja, jauh lebih mudah mengambil pulpen baru.
  • Daripada memeriksa stock availability, jauh lebih mudah request baru saja.
  • Daripada minta quotation dari 3 vendor, jauh lebih mudah meminta quotation dari 1 vendor saja.
  • Daripada melakukan analisa cost-benefit yang layak, jauh lebih mudah memutuskan sesuatu hanya dengan menggunakan ‘kira-kira’.
  • Daripada melakukan verifikasi yang njlimet, sebelum memberikan approval (persetujuan), jauh lebih mudah mempercayai apapun yang disajikan oleh bawahan.
  • Mengobrol ngalor-ngidul di ruang meeting jauh lebih nyaman dibandingkan mensupport staff menyelesaikan pekerjaanya.

See? Itu sebabnya, hal penting pertama yang harus dilakukan adalah mengubah pola-pikir seperti itu. Usaha menekan cost model apapun tidak akan pernah berhasil jika mindset orang-orang yang ada di dalamnya belum berubah. Sehingga, bisa dikatakan bahwa: pekerjaan menjalankan inisiatif cost-cutting sesungguhnya sebagian besarnya adalah pekerjaan mengubah mindset (atau mengubah budaya, dalam kasus yang lebih parah).

Bagaimana caranya mengubah mindset inefficient ke efficient?

Mengubah mindset yang terlanjur mengakar dan mengurat (terutama di level bawah), memang bukan pekerjaan yang mudah. Diajak menjalankan program tertentu—apalagi yang akan membuat ‘hidup’ mereka lebih susah, orang cenderung untuk menolak. Setidak-tidaknya, mereka akan berpikir: “ngapain susah-susah, yang rugi juga perusahaan koq, bukan gue.”

Untuk itu, tanamkan pemahaman pada setiap kepala orang (yang ada di dalam perusahaan—dari office boy hingga manager) bahwa:

  • Membiarkan pemborosan terjadi di depan mata, apalagi melakukan sendiri, adalah bentuk sikap tidak bertanggungjawab—karena membiarkan perusahaan menghadapi risiko kerugian.
  • Membiarkan perusahaan menghadapi risiko kerugian, bukan saja tidak baik bagi perusahaan, tetapi juga tidak baik bagi dirinya dan ratusan (atau mungkin ribuan) anggota keluarga pegawai lainnya. Dalam kondisi merugi, perusahaan tidak akan mampu menyediakan bonus, tidak akan ada kenaikan gaji, bahkan mungkin membuat mereka kehilangan pekerjaan dan penghasilan—untuk menghidupi keluarga mereka.
  • Pilihan yang tersisa hanya satu, yaitu: mengubah sikap dan perilaku dari inefficient ke efficient.

Bagaimana caranya menyampaikan pesan itu? Banyak:

  • Pertama, disampaikan secara lisan.
  • Kedua, disampaikan secara tertulis (via email untuk office staff dan pasang banner di setiap ruang kerja untuk buruh dan pegawai lainnya).
  • Ketiga (dan yang paling efektif), dengan memberi contoh—setiap supervisor dan manajer memberi contoh nyata dalam perilaku sehari-hari. Tegur siapapun yang menjukan sikap dan perilaku inefficient.

Wilayah-2. Cost Control System – Mengubah mindset adalah satu hal. Menggarap wilayah sistem adalah hal lai yang harus dilakukan jika ingin sukses mengubah mindset mereka secara permanent—sehingga program cost-cutting tidak diperlukan lagi di masa-masa yang akan datang.

Ada tiga alasan mengapa menggarap wilayah cost control system adalah penting:

  • Pertama, bisa jadi pemborosan selama ini terjadi bukan saja disebabkan oleh faktor mindset, tetapi juga didorong oleh system control yang membuat mereka bisa leluasa melakukan pekerjaan (atau menjalankan operasional perusahaan) secara inefficient. Untuk itu, perusahaan perlu memiliki cost-control system yang kuat. Jika tidak ada, perlu dibikin ada. Jika sudah ada, perlu direview—temukan kelemahannya.
  • Kedua, kesadaran untuk mengubah orientasi jangka-pendek (mempermudah diri-sendiri) ke orientasi jangka-panjang (menjaga kelangsungan hidup perushaaan), seringkali bersifat temporal. Bisa dibilang: perilaku boros adalah sejenis ‘penyakit’ yang bisa kambuh kapan saja. Sampai pada tingkat kesulitan tertentu mungkin pegawai masih mau menukar ‘kemudahan’ (yang mereka nikmati selama ini) dengan ‘ekspektasi’ kenaikan gaji/bonus dan kelangsungan-hidup perusahaan.

Tetapi, di tingkat kesulitan yang lebih tinggi, sangat mungkin mereka mengkompromikannya. Satu-satunya cara untuk memastikan mereka selalu berada dalam track yang diinginkan adalah dengan mengontrol mereka by system.

  • Ketiga, penanaman orientasi untuk ikut menjaga kelangsungan-hidup perusahaan bisa menimbulkan ‘rasa ikut memiliki’ (sense-of-belonging) yang berlebihan, dan ini bisa berubah menjadi masalah yang sulit di atasi.

Pada kadar tertentu (terutama di middle management level = supervisor, manager, kepala bagian, kepala divisi, kepala biro), sense of belonging yang terlalu tinggi cenderung mendorong mereka untuk berani mengambil judgment dan keputusan secara aggressive—sementara mungkin saja mereka belum memiliki kapasitas yang cukup (masih perlu panduan dari senior management/executive)—sehingga menghasilkan output yang justru membuat perusahaan dalam kondisi berisiko. Untuk menghindari hal itu, dibutuhkan system kendali (policy and procedure) yang jelas.

 

Menjalankan Inisiatif Cost-Cutting Tidak Seperti Memakan Cabai

Pemicu kegagalan inisiatif cost cutting berikutnya disebabkan oleh adanya kekeliruan persepsi yang memandang cost-cutting sebagai program instant—yang sekali jalan langsung sukses; sekali tekan cost dan expense turun drastis. Pada kenyataannya menjalankan program cost-cutting tidak seperti makan cabai (begitu dikunyah, pedasnya langsung terasa). Tidak semudah dan secepat itu. Mengapa?

  • Mengubah perilaku boros yang sudah terlanjur kronis adalah tidak mudah. Pegawai perusahaan terdiri dari berbagai orang yang memiliki daya pemahaman yang berbeda-beda—sangat mungkin diperlukan pendekatan dan treatment yang terkustomisisasi. Dan itu, butuh waktu.
  • Memperbaiki cost control system (apalagi menyusun dari awal) juga butuh waktu yang tidak singkat. Perlu perencanaan, test dan uji coba-uji coba. Sangat mungkin, setiap jenis aktivitas membutuhkan system kendali yang berbeda-beda.

Itu sebabnya, istilah lain dari cost-cutting (khususnya di Eropa) adalah “Cost reduction exercise“. Artinya cost-cutting initiative perlu dilakukan secara bergelombang. Tentu tergantung kondisi di masing-masing perusahaan. Tetapi, pada umumnya (dan idealnya) program cost-cutting atau cost reduction exercise berjalan seperti berikut ini:

·        Gelombang I: Cost Analysis —> Identifikasi —> Observasi —> Cost-Cutting Plan —> Implementasi —> Evaluasi = Cost dan expense turun 15%

·        Gelombang II: Cost Analysis —> Identifikasi —> Observasi —> Cost-Cutting Plan —> Implementasi —> Evaluasi = Cost dan expense turun 25%

·        Gelombang III: Cost Analysis —> Identifikasi —> Observasi —> Cost-Cutting Plan —> Implementasi —> Evaluasi = Cost-cutting output 45%

Demikian terus, hingga mencapai titik penurunan cost yang diharapkan. Tidak bisa dilakukan secara instant.

 

Inefficiency Bukan Persoalan Parsial

Untuk meng-goal-kan program cost-cutting memang butuh waktu, karena dilakukan secara bertahap dan terkustomisasi. Akan tetapi, tidak bisa dijalankan dengan menggunakan kaca mata yang memandang persoalan inefficiency secara parsial (cost cutting dilakukan hanya di bagian tertentu saja, lalu berharap langsung berhasil.) Mengapa?

Suatu unit bisnis terdiri dari bagian-bagian yang terkait antara yang satu dengan lainnya. Tidak parsial. Aktivitas di suatu bagian memicu aktivias di bagian lain. Sehingga, inefficiency di suatu bagian sangat mungkin bersumber dari aktivitas di bagian lain. Dan inefficiency di suatu bagian besar kemungkinannya menjalar ke bagian lainnya.

Oleh sebab itu, jika ingin berhasil menjalankan program cost-cutting, inefficiency harus dipandang secara comprehensive—dari hulu hingga hilir aktivitas operasional bisnis. Perspektive seperti ini mesti digunakan dalam setiap tahapan program cost-cutting, sejak cost analysis, identifikasi, observasi, planning, implementasi, hingga evaluasi.

Jika tidak, maka usaha untuk menekan cost menjadi tidak ubahnya seperti mencoba mengempiskan balon udara tanpa lubang—pencet di salah satu ujungnya, kembung di ujung lainnya. Penurunan cost yang drastis di bagian tertentu, memicu peningkatan cost di bagian lain. Begitu terus, tiada akhir, sehingga program cost-cutting tidak akan pernah berhasil.

Jika saat ini anda sedang menjalankan program memangkas cost (cost cutting) dengan pendekatan berbeda, apa yang sudah saya sampaikan lewat tulisan ini mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan atau pelengkap inisiative yang sudah anda jalankan selama ini. Untuk sementara, jika ingin berbagai pengalaman mengenai program cost-cutting yang pernah anda jalankan, silahkan disampaikan via ruang komentar di bawah. Mungkin bisa menjadi masukan yang berharga bagi pembaca lainnya. Terimakasih dan sukses selalu. (bisnisan.id)

Posting Komentar untuk "Mengapa Inisiatif Cost Cutting Jarang Berhasil ?"